Onriza Putra  (Duta Damai Dunia Maya Regional Sumatera Barat) – Opini ini lulus seleksi untuk mengikuti Workshop Jurnalisme Warga Antikorupsi, KPK RI

Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan menjadi Interviewer sebuah survei terkait persepsi masyarakat tentang gratifikasi. Survei ini diselengarakan di beberapa kota di Indonesia oleh sebuah lembaga survei yang berkantor di Jakarta. Secara garis besar, survei ini bertujuan untuk melihat bagaimana persepsi masyarakat mengenai praktek gratifikasi, khususnya sejauh mana batasan yang masih dianggap wajar oleh masyarakat.

Sebagai batasan, saya tidak akan memaparkan teknis pengambilan data dan metode menganalisis hasil penelitian. Sebagai sebuah lembaga survei, kaidah-kaidah penelitian yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan tentu sudah diperhitungkan oleh peneliti dan para pengambil kebijakan di lembaga tersebut. Juga, saya tidak akan menyimpulkan hasil survei secara keseluruhan, disamping bukan tugas saya untuk melakukan hal tersebut, juga disebabkan oleh terbatasnya kemampuan saya untuk menganalisisnya. Singkatnya, tulisannya ini hanya akan mengemukakan apa yang saya ditemui dilapangan dan kesimpulan saya terkait pandangan masyarakat Kota Padang terkait gratifikasi.

Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU.No. 20 Tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Pengecualian : Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 Pasal 12C ayat (1). Ketentuan diatas tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sedangkan Pasal 12B ayat (1) UU N0.31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 berbunyi, setiap gratifkasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelengara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya atau berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya. Secara garis besar, gratifikasi adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya atau pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar atau menerima bayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Adapun sebaran reponden yang diwawancara dibedakan atas wilayah tempat tinggal, jenis kelamin, usia, pekerjaan dan tingkat pendidikan. Untuk melihat sejauh mana masyarakat mengetahui tentang gratifikasi dan apakah memahami praktek gratifikasi, survei ini memulai pertanyaan awal dengan “ Apakah Bapak/Ibu/Saudara/I pernah mendengar kata gratifikasi? Tidak semua responden pernah mendengar kata gratifikasi, ada yang pernah dan tahu apa itu gratifikasi, ada yang pernah tapi ragu-ragu, pernah mendengar tapi salah mengartikan dan ada yang tidak pernah mendengar sama sekali. Opsi pilihan jawaban yang tersedia adalah “tahu” dan “tidak tahu”. Proses berikutnya adalah Interviewer membacakan pengertian Gratifikasi menurut Undang-Undang.

Pertanyaan selanjutnya, darimana responden mengetahui adanya peraturan yang mengatur penerimaan gratifikasi? Jawaban terbanyak yaitu dari media massa (TV, cetak atau radio). Opsi lainnya yaitu Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG), pemberitahuan dari instansi pemerintah, instansi/perusahaan tempat responden bekerja dan sosialisasi KPK. Responden juga diberikan kesempatan jika ada opsi jawaban lainnya. Sedangkan opsi jawaban yang jarang dipilih adalah Sosialisasi KPK. Pertanyaan yang tidak satu pun mampu dijawab adalah peraturan mana yang mengatur penerimaan gratifikasi.

Karena inti dari survei ini adalah ingin melihat batasan gratifikasi, pertanyaan yang diajukan selanjutnya adalah rangkaian contoh kasus pemberian yang di lakukan oleh responden baik sebagai Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri maupun sebagai masyarakat. Contoh kasus tersebut seperti pemberian pada momen khusus, iuran pada momen khusus, pemberian oleh-oleh, karangan bunga, traktir, hadiah pribadi, souvenir, dan sumbangan saat musibah. Jenis-jenis transaksi tersebut diajukan dan responden harus menentukan mana batas terlalu rendah, cukup rendah, cukup tinggi dan terlalu tinggi dalam bentuk nominal (rupiah). Untuk mempermudah responden, survei ini menyediakan show card yang menampilkan jumlah nominal mulai dari 5000 hingga 10.000.000 rupiah. Mayoritas responden kesulitan menentukan jumlah pemberian.

Selanjutnya, Interviewer membacakan pengertian gratifikasi dalam UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).Gratifikasi diartikan sebagai semua pemberian yang diterima Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara apabila berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (berpotensi menjadi konflik kepentingan). Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut harus menolak, mengembalikan pada kesempatan pertama atau melaporkannya kepada Negara melalui KPK apabila dalam situasi tertentu penolakan tidak dapat dilakukan. Pegantar ini digunakan untuk mengajukan pertanyaan selanjutnya yaitu : Apakah responden setuju bahwa setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang diberikan berhubungan dengan jabatannya atau pelaksanaan tugasnya wajib dilaporkan melalui Unit Pengendalian Korupsi di Instansi Pemerintah terkait atau langsung kepada KPK? Jawaban terbanyak adalah “Setuju” dan “Sangat Setuju”. Tidak ada responden menjawab opsi pilihan lainnya yaitu “tidak setuju” dan “ kurang setuju”.

Jawaban yang beragam ditemukan pada pertanyaan : Apakah responden setuju, adanya aturan yang mengatur batasan nilai (maksimum) penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam peristiwa tertentu? Ada yang menjawab tidak setuju dengan alasan setiap pemberian dalam bentuk apapun dan nominal berapapun tetap dianggap gratifikasi dan harus dilarang. Kurang setuju karena bukan “batasannya” yang harus diatur, tetapi tergantung kepentingan/keuntungan pribadi yang ingin dicapai. Sedangkan untuk jawaban “setuju dan sangat setuju”, responden menilai harus ada batasan yang jelas agar bisa diartikan apakah sebuah pemberian termasuk gratifikasi atau tidak.

Hampir semua responden setuju bahwa praktek gratifikasi adalah tindakan melawan hukum dan penerima harus diberi sanksi. Namun, tidak semua responden merasa yakin praktek gratifikasi dapat dihilangkan sekaligus dapat mencegah tindakan korupsi. Menurut responden yang yakin praktek gratifikasi dapat dihilangkan, ada beberapa metode yang harus dilakukan, yaitu peraturan yang jelas mengenai batasan gratifikasi, sanksi yang tegas, sosialisasi dan kesadaran Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara serta masyarakat itu sendiri. Sedangkan bagi yang pesimis, mayoritas berpendapat karena tidak adanya batasan gratifikasi yang jelas, kurangnya sosialisasi dan kebiasaan masyarakat yang menganggap gratifikasi adalah praktek yang wajar.

Gratifikasi adalah embrio dari tindakan korupsi. Namun, mayoritas masyarakat belum memahami sepenuhnya tentang gratifikasi. Tindakan ini mempunyai dampak yang negatif dan dapat mempengaruhi suatu kebijakan dalam penyelenggaran pelayanan publik. Kebanyakan masyarakat menganggap pemberian hadiah kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara adalah hal yang lumrah dan tidak bertentangan dengan hukum. Pemberian semacam “uang rokok” atau “uang minyak” dianggap sesuatu yang wajar dan bahkan menjadi kebiasaan masyarakat.

Anggapan ini tidak boleh dibiarkan dan harus diluruskan. Sepanjang pemberian tersebut ditujukan untuk mengambil keuntungan atau mempengaruhi objektivitas penerima, maka pemberian tersebut termasuk praktek gratifikasi. Pemberian ucapan terima kasih dari masyarakat kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena jabatannya dapat mengarah dan menjadi potensi perbuatan korupsi.

Rendahnya pemahaman masyarakat atas gratifikasi, tidak hanya menjadi PR bagi KPK selaku institusi yang diberi amanat oleh Undang-Undang dalam memberantas korupsi, tapi harus menjadi tugas kita bersama.

Onriza Putra

Kronologi Polemik Aplikasi Injil Berbahasa Minang

Previous article

Tips Menulis Berbasis Data

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini