Dalam tulisan ini, saya akan membagikan kisah pribadi saya. Kisah yang terjadi di waktu saya kecil, namun pembelajarannya saya bawa tumbuh, hingga dewasa kini. Disitulah petualangan saya dimulai mengenal apa itu keberagamaan, toleransi dan perundungan. Dalam artikel sederhana  ini, semua hal yang saya sebutkan tadi saling berhubungan. Semua itu saya alami. Kisah inilah yang pada akhirnya menjadi pondasi kuat bagi saya untuk terus menyuarakan perdamaian dan keberagaman, baik di lingkungan keluarga, komunitas maupun masyarakat luas.

Saya dan adik perempuan saya, mengalami perundungan yang cukup parah yang dilakukan oleh anak-anak di kompleks rumah dan sekolah kami. Saya dan keluarga waktu itu pindah dari kampung kami, Padang Pariaman, menuju Parupuak Tabiang, Padang. Ayah saya menyewa rumah yang cukup besar, dan kami sekeluarga resmi pindah ke sana di hari itu juga. Saya dan adik saya juga harus pindah sekolah ke lokasi sekitaran Tabiang. Kami bukanlah orang yang berada, namun kebetulan waktu itu kami beruntung bisa menyewa rumah yang cukup bagus dengan harga yang terbilang murah.

Saya dan adik saya terlambat masuk sekolah sekitar satu setengah bulan dihitung dari hari pertama kami tinggal di Padang. Banyak faktor yang menghambat, termasuk administrasi dan sistem sekolah yang berbeda. Pada akhirnya kami diterima di sekolah yang jaraknya lumayan jauh dari lokasi kompleks kami. Setidaknya kami harus berjalan 30 menit untuk sampai disana. Saya dan adik saya sering berangkat bersama, tapi jika saya sekolah di sesi pagi dan adik saya sesi siang,  acap kali adik saya akan naik ojek, sedangkan saya akan tetap berjalan kaki. Itu semua karena faktor ekonomi kami yang tidak memadai.

3 hari masuk sekolah, kami sering ditatap sinis oleh anak lainnya. Dulu di kampung kami satu kelas hanya diisi rata-rata oleh 8-10 siswa. Pemandangan yang berbeda yang kami temui di sekolah baru kami, yaitu rata-rata diisi 35 siswa. Saya dan adik saya kesulitan beradaptasi. Sangat sulit untuk memulai interaksi dengan anak-anak disana. Kami berjuang untuk mengejar ketertinggalan kami, serta berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

Puncak dari tatapan sinis itu adalah, saya diteriaki beramai-beramai oleh segerombolan anak laki-laki “Kristen hu! Dasar Kristen!”. Mereka meneriaki saya dengan tatapan marah dan bergemuruh seperti ingin menghajar saya. Itu berulang terjadi. Adik saya juga mengalaminya. Pernah ketika pulang sekolah kami dilempari batu sambil diteriaki “Dasar anak Kristen!”. Kami hanya bisa menahan tangis, dan satu pertanyaan besar muncul di kepala saya, kenapa memangnya jika ada yang beragama Kristen?

Saya bertanya kepada teman saya yang beragama Kristen. Kebetulan yang paling bisa menerima saya saat itu adalah teman-teman nasrani. Saya bertanya kepadanya kenapa anak-anak memperlakukan kami seperti itu? Dan apakah dia mengalaminya juga? Teman saya tersebut menjawab pertanyaan saya dengan menanyakan pertanyaan juga “Agamamu dan adikmu apa?” langsung saya jawab “Islam. Kami Islam”. Dia tidak terkejut sama sekali, lalu dia menjawab pertanyaan saya tadi. ”Ini semua karena pakaianmu. Seragammu seharusnya berlengan panjang. Celanamu harusnya panjang. Adikmu pun harus pakai pakaian yang menutup auratnya, dan wajib berjilbab. Mungkin itulah kenapa anak-anak membullymu”. Saya melihat pakaian SD saya yang pendek di atas lutut, dan baju yang juga pendek, berbeda dari deskripsi yang disampaikan oleh teman saya tadi.

Tapi, saya semakin tidak terima. Kenapa identitas berpakain kami membuat kami diperlakukan seperti itu? Kenapa anak-anak yang tidak berpakaian seperti kami tidak mendapatkan perlakuan itu? Apakah karena kami berbeda maka kami layak untuk dihina dan dicerca? Kenapa seseorang dengan mudahnya mengambil kesimpulan hanya dari sebatas yang dilihat dari luar? Kenapa anak-anak ini sangat anti dari orang-orang yang berbeda darinya? Banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepala saya waktu itu. Saya tanyakan ke ayah dan ibu saya di rumah, saya tanyakan kepada teman nasrani saya tersebut. Tapi kala itu, saya masih tetap tidak puas. Mereka hanya menjawab,”Yaa, ikuti sajalah..bertahan saja. Bertahan sampai kamu terbiasa. Bertahan setidaknya sampai kamu dapat sekolah yang baru lagi”. Saya kesal mendengar jawaban itu.

Tiga minggu kemudian, saya dan adik saya sudah memakai seragam seperti yang harusnya kami pakai waktu itu. Bullyan memang menjadi berkurang secara drastis. Tidak ada lagi yang meneriaki kami ketika pulang, ataupun diam-diam mengusili kami di kelas. Hanya satu atau dua orang saja yang tetap merundung saya, bukan karena pakaian saya, tapi karena anak tersebut memang anak nakal saja. Meskipun keadaan sudah menjadi lebih baik, saya tidak meninggalkan teman saya yang berbeda dengan saya tersebut. Kami masih sering bercakap di atas jembatan dekat sekolah kami sembari makan jajanan sekolah.

Seberapa bahaya Intoleransi? Menurut saya bahaya sekali. Perilaku intoleransi berkemungkinan melahirkan perilaku-perilaku negatif lainnya, dan dalam kasus saya, ada bullying verbal dan nonverbal. Saya hanya contoh kecil, tentunya masih banyak di luaran sana yang mengalami hal serupa dan mungkin lebih parah. Intoleransi sedari dini adalah perilaku yang membentengi diri dari perbedaan dan enggan menerima perbedaan itu sendiri. Falsafah “Bhinneka Tunggal Ika” harusnya bisa menjadi acuan sederhana bagi anak-anak bahwa perbedaan adalah suatu kemutlakan dan patut untuk dirayakan dan dibanggakan. Perbedaan bukanlah hal yang hina, apalagi aib.

Anak- anak adalah kertas putih. Bagaimana dia melihat dunia bergantung sekali pada lingkungan sekitarnya. Banyak sekali dogma-dogma salah yang ditanamkan pada diri anak- anak. Banyak sekali value-value keliru yang diajarkan pada mereka. Hingga akhirnya anak-anak tersebut membawa dongma dan value tersebut ke lingkungannya, mempengaruhi yang lainnya, serta berujung pada intoleransi serta bullying. Tanggung jawab siapakah mengajarkan keberagamaan dan perbedaan pada anak-anak? Jawabnya kita semua. Kita semua terlibat dalam membentuk pola pikir serta mereka. Bukan hanya orang tua, dan guru, masyarakat sekitar pun ikut  memiliki tanggung jawab moral dalam pengajaran keberagaman serta toleransi.

Penulis : Diko Arianto

dutadamaisumbar

Ibadah Sunnah di Bulan Suci Ramadan

Previous article

Cara Agar Terlihat Lebih Aktraktif

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini