Liat deh si A, cantik banget ya, kulitnya putih, badannya langsing ideal, rambutnya hitam lebat, dan panjang gitu, mulus lagi, ahhh perempuan sempurna deh pokoknya. Kecantikan yang hakiki banget itu mah bagi seorang perempuan. Coba aku seperti dia, pasti beruntung banget deh, disenangi dan dipuji banyak orang. Tapi ya itu gak mungkin sepertinya, kulitku ya begini, sawo matang, hitam, rambut kriting dan gak semulus dia.

Melihat dia aku merasa tidak percaya diri,insecure, dan malu aja, andaiku punya banyak uang mungkin bisa oplas dan sebagainya, supaya bisa cantik kayak si A tu.


Hal di atas kerap kali kita jumpai dikalangan para perempuan di sekitar kita, mereka merasa tidak percaya diri, malu, dan bahkan minder dengan segala bentuk fisik yang dimilikinya, akibat dari standar kecantikan yang ada di masyarakat serta konstruksi sosial yang mengakar hingga sekarang.


Kecantikan selalu identik dengan perempuan, dan setiap perempuan berhak memiliki predikat cantik itu. Kecantikan dan keindahan dianggap sesuatu hal yang mesti dimiliki oleh perempuan, kecantikan dan perempuanpun seolah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Oleh sebab itu, kemanapun perempuan pergi maka akan selalu dituntut untuk cantik berapapun usianya.


Terdapat banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki tampilan menarik akan cenderung lebih mudah mendapatkan pekerjaan dibandingkan dengan seseorang yang tampilannya biasa-biasa saja.

Menurut A Numuk Murtiarti dalam bukunya Getar Gender menyatakan bahwa kecantikan merupakan suatu hal yang diutamakan untuk bisa diterima dalam pekerjaan. Hal demikian juga yang pada akhirnya membuat para perempuan untuk melakukan berbagai cara agar dianggap cantik. Mitos perihal kecantikan merupakan hasil dari pembelajaran manusia untuk mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan.


Standar kecantikan yang mengakar di masyarakat kita merupakan sebuah luka bagi para perempuan Indonesia, yang memang memiliki keberagaman kecantikannya masing-masing. Mitos akan standar kecantikan hari ini yang kian mengakar juga disebabkan oleh berbagai perkembangan media serta keutungan pasar tertentu, seperti kosmetik dan sebagainya.

Untuk mencapai standar kecantikan tersebut para perempuan berlomba-lomba untuk melakukan perawatan kecantikan yang tak murah, melakukan diet ketat, yang kadang juga bisa merusak kesehatan tubuhnya sendiri, bahkan bagi mereka yang memiliki finansial yang mumpuni tak jarang melakukan berbagai operasi plastic untuk memperoleh fisik cantik sesuai standar yang ada tersebut.


Tahun 2016 sebuah penelitian yang dilakukan oleh perusahaan Unilever Dove menyatkan bahwa hasil penelitian yang mereka lakukan di seluruh dunia dengan melibatkan 10. 500 perempuan di 13 negara termasuk Indonesia, dan hasilnya 85% perempuan dewasa dan 79% anak perempuan mengaku bahwa mereka memilih menyisihkan diri dari aktivitas kehidupan karena mereka merasa tidak percaya diri dengan penampilannya. Sebagian besar dari para perempuan tersebut memang berusaha memenuhi standar kecantikan tersebut, walaupun ada dari sebagian perempuan yang lebih memilih tampil apa adanya sesuai dengan dirinya sendiri.


Standar cantik di Indonesia selalu identik dengan kulit putih, mulus, rambut lurus, hidung mancung, dan bentuk tubuh yang ideal. Stigma yang melekat selama ini akan standart kecantikan juga dipengaruhi oleh konstruksi media yang mengatakan bahwa cantik itu harus ini dan itu. Sebagaimana teori konstruksi sosial media yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, yang menjelaskan bahwa pada hakikatnya, realitas sosial itu dibentuk dan dikonstruksi oleh manusia itu sendiri.


Media sosial menjadi salah satu media yang sangat berpengaruh untuk melanggengkan standart cantik bagi para perempuan. Berbagai jasa dan produk yang melibatkan para perempuan sebagai modelnya harus digembleng dengan penampilan yang cantik sesuai standarnisasi tersebut.

ini menjadi sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan bagi kita semua, semakin hari standart kecantikan menjadi pusat sentral bagi para perempuan di lingkungan kita. Bahkan akibat dari standarnisasi ini memiliki dampak yang sangat tidak baik buat psikologi perempuan-perempuan lainnya diberbagai daerah-daerah di Indonesia.


Padahal kecantikan perempuan Indonesia itu adalah kecantikan yang beragam dengan segala otoritas dirinya. Seperti perempuan Papua dengan kulit hitam manisnya, perempuan Minang dengan kulit sawo matangnya, perempuan Jawa dengan kelembutannya, perempuan Batak dengan cara bicaranya yang tegas dan lainnya sebagainya, itulah kecantikan dan ketampanan yang ada di Indonesia yang penuh keberagaman ini.
Mari kita bersama melawan standart kecantikan yang di lingkungan dan negara kita ini dengan menerima diri kita apa adanya, tanpa takut, malu, apalagi sampai kita tak merdeka dengan apa yang kita lakukan.

Mulailah berfikir bahwa cantik itu adalah kamu dengan otoritas dirimu yang lahir dari dalam pikiranmu yang positif, pribadimu yang kompeten, sikapmu yang adil, serta hatimu yang jauh dari energy negatif. Cantik itu adalah kita semua.

Nuraini Zainal

[Hoaks]- Madagaskar Keluar dari WHO

Previous article

Dunia Sarana Berbuat Baik Untuk Akhirat

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini