Banyak orang beradu argumen dan saling mengklaim kebenaran, terutama saat pemilihan umum yang baru saja kita helat. Di Kedai kopi, ruang kelas ruang keluarga hingga ruang ibadah tidak luput menjadi arena perdebatan. Yang justru lebih heboh tentu saja linimasa. Facebook, Twitter, Instagram dan media sosial lainnya menjadi arena perang pendukung dan simpatisan. Kolom komentar penuh dengan dukungan, dan tentu saja serangan.

Hingga akhirnya perdebatan semakin bias dan nirmakna. Tidak lagi membahas hal hal subtansial melainkan caci maki hingga mengulik privasi. Ujung-ujungnya provokasi, pemutusan hubungan pertemanan terjadi dan menjadi sesuatu yang kita sesali dalam perbedaan pandangan politik.

Pendukung fanatik tidak mementingkan visi misi calonnya dan tidak mengkritisi opini/kebijakannya. Apa yang disampaikan oleh calonnya adalah kebenaran. Apa yang dikatakan calon lain adalah hoax dan tidak benar. Ruang diskusi tertutup.

William Clay menyampaikan sebuah adagium yang cukup populer dalam politik. Bunyinya ” this is quite game, politics. There are no permanent enemies and no permanent friends, only permanent interest. Istilah ini diserap dan cukup popuper di Indonesia. Bunyinya ” tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang abadi hanya kepentingan”.

Adagium ini nampaknya menemukan relevansinya dalam perpolitikan Indonesia. Terutama setelah Prabowo (oposisi utama) akhirnya bergabung dengan koalisi pemerintah. Kalau kita jeli dan mengikuti perkembangan politik pasca orde baru, banyak kasus “kawan jadi lawan atau lawan jadi kawan”.  Dalam politik hal tersebut lumrah.

Tidak hanya di Indonesia, penulis mencoba merangkum “kisah”  tokoh politik yang bertranformasi dari kawan menjadi lawan (atau sebaliknya) dan dari oposisi menjadi mitra koalisi (atau sebaliknya).

1. Mahathir Mohammad – Anwar Ibrahim (Malaysia)

Mahathir Mohammad adalah tokoh politik senior Malaysia. Saat ini menjabat Perdana Menteri setelah partainya memenangkan pemilu 2018 kemarin. Hubungan Mahathir dan Anwar Ibrahim bermula saat Mahathir mengajak Anwar untuk bergabung dengan United Malays National Organization (UMNO) pada tahun 1982. Saat itu, UMNO adalah partai utama pemerintah. Anwar dianggap individu yang tepat untuk menjembatani kesenjangan antara nasionalis melayu dan aspirasi islam. Mahathir didapuk menjadi Deputi Perdana Menteri 1993 sekaligus Menteri Keuangan.

Pada tahun 1998, keduanya berselisih terkait cara mengatasi krisis keuangan yang melanda Asia dan gagal. Anwar dipecat dan berbalik menentang pemerintahan Mahathir. Mahathir merespon dengan senjata hukum. Anwar dituduh melanggar UU Keamanan Internal dan menahan lebih dari 100 politisi, akademisi dan aktivis sosial dari kalangan oposisi. Anwar dituduh melakukan sodomi dan korupsi.

Anwar dibebaskan pada tahun 2004 saat Mahathir tidak lagi menjabat sebagai PM. Saat itu yang memegang kekuasaan adalah Najib Razak.

Saat pemerintahan Najib, Anwar tetap kritis terhadap pemerintah. Upaya Najib untuk mengakhiri karirnya adalah dengan menuduhnya melakukan sodomi (lagi). Anwar akhirnya dipenjara 5 tahun.

Untuk melawan Najib dan Koalisi Barisan Nasional (BN- Mahathir pernah menjafi kader terbaik), akhirnya Mahathir dan Anwar bersekutu terkait skandal 1MDB. Kampanye yang diusung adalah Save Malaysia. Mahathir berjanji akan membebaskan Anwar jika memenangi pemilu dan mundur dari jabatan PM.

Akhirnya Koalisi Pakatan Harapan memenangi pemilu ke-14 Malaysia. Anwar dibebaskan dengan pengampunan penuh pada Rabu 16 Mei 2018. Pengampunan dari Yang Dipertuan Agung ini diupayakan oleh Mahathir selaku Perdana Menteri. Publik internasional akan menunggu Mahathir menunaikan janjinya yaitu menyerahkan jabatan Perdana Menteri ke Anwar.

2. Uhuru Kenyatta – William Ruto – Raila Odinga (Kenya)

Uhuru Kenyatta merupakan anak dari Jomo Kenyatta (presiden pertama Kenya pasca kemerdekaan), sementara Raila Odinga anak dari Jaramongi Odinga (wakil presiden mendampingi Jomo Kenyatta). Berdasarkan jurnal “what went wrong with Kenya’s election?”, garis politik keluarga Kenyatta condong kepada kepentingan bisnis, sedangkan Raila Odingga mencitrakan dirinya sebagai politikus populis.

Perpolitikan di Kenya sarat dengan politik etnis. Agar memenangkan pemilu, setiap calon akan mengajak suku-suku untuk menjalin koalisi. Tahun 2002, Mwai Kibaki, Raila Odinga dan William Ruto berada dalam satu koalisi melawan Uhuru Kenyatta. Pemilu ini dimenangkan Mwai Kibaki.

Pada tahun 2007, giliran Raila Odinga dan William Ruto bersekutu melawan Mwai Kibaki dan Uhuru Kenyatta. Saat itu pemenangnya masih Mwai Kibaki. Sedangkan tahun 2012, Koalisi Uhuru Kenyatta dan William Ruto berhadapan dengan Raila Odinga.

Pada tahun 2017, Raila Odinga membentuk Koalisi Oposisi Aliansi Nasional untuk membendung Uhuru Kenyatta. Ajang pemilu berlangsung panas dan konflik etnis meledak. Data tirto.id, lebih dari seribu orang tewas dan ribuan lainnya harus mengungsi. Konflik pecah karena tuduhan kecurangan dan manipulasi pemilu.

Pada Maret 2018, dalam siaran tv, Uhuru Kenyatta dan Raila Odinga sepakat melakukan rekonsiliasi setelah gontok-gontokan memperebutkan kursi kekuasaan.

2. Muhammad Buhari – All Progressive Congress

Muhammad Buhari adalah Presiden petahana Nigeria. Pada pemilu bulan Februari kemarin, Komisi Pemilihan Nasional Independen (INEC) menetapkan kemenangan partai Buhari, yaitu All Progressive Congress (APC) dan mengalahkan partai oposisi People’s Democratic Party.

Berita terbaru, 37 partai dan faksi All Progressive Congress yang berkuasa di parlemen sepakat untuk menggeser Buhari dalam pemilihan mendatang. Gerakan Anti Buhari sejak lama di kampanyekan partai oposisi People’s Democratic Party. Partai ini berkuasa sejak tahun 1999 hingga 2015. Hal ini terjadi karena gaya kepemimpinan dan ketidakmampuan Buhari merealisasikan janji kampanye.

Menurut Mathew Page, peneliti Carnegie Endowment For International Peace, partai-partai di Nigeria bersifat oportunis, cenderung menjual dukungan tergantung koalisi mana yang kuat dan menguntungkan (APC dan PDP).

Pembelotan partai pendukung Buhari memperlihatkan tidak ada kawan dan lawan abadi dalam memperebutkan kekuasaan. Salah satu pembelot Buhari adalah orang kepercayaannya, Bukola Saraki (tim kampanye Buhari). Apa yang terjadi di Nigeria memperlihatkan tidak adanya kesetiaan dalam politik. Kepentingan partai tergantung kepada peluang baru dan sumber daya keuangan. Partai tidak memiliki ideologi atau nilai nilai yang dipertahankan selain keinginan untuk mempertahankan/memperebutkan kekuasaan.

Pubertas Politik

Bagi sebagian orang, politik adalah hal baru dalam kehidupannya. Hiruk pikuk pemilu menarik berbagai elemen masyarakat untuk (mau tidak mau) terseret permasalahan politik. Sering kita lihat, para pendukung ini tidak mementingkan subtansi yang di usung kandidat. Kepopuleran tokoh dan (kadang kala) tampilan fisik menjadi patokan. Kelompok ini lah yang biasa disebut kelompok puber politik. Puber politik merujuk kepada orang yang baru kenal politik dan sudah merasa paham dengan politik itu sendiri.

Nah, ketika terjadi sesuatu yang di luar prediksi, kelompok ini sulit menerima dan memahami apa yang sedang terjadi. Ketidakmampuan dalam memahami peta politk menjadikan mereka gagap. Fanatisme buta yang mereka usung akhirnya dijewantahkan oleh gerak dinamis elit politik.

Apa yang ditampilkan tokoh politik Malaysia, Kenya dan Nigeria (serta tokoh politik dunia lainya) hingga Indonesia, menjadi contoh nyata adagium “the enemy of my enemy is my friend“.

Onriza Putra

Prabowo Jadi Menteri Jokowi, Bukti Bahwa Politik Itu Dinamis

Previous article

Sakdiyah Ma’ruf, Menertawakan Intoleransi Lewat Komedi

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini