Pada tanggal 11 April 2022 telah terjadi demo di beberapa titik di Indonesia yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa, baik dari universitas negeri maupun universitas swasta. Perihal yang mereka demokan sepertinya berakhir tidak menyenangkan karena tuntunan-tuntunan yang terkesan tidak tepat sasaran dan diakhiri ricuh. Tentu hal tersebut tidak di semua titik.

Bagaimana tidak? Demo yang mereka lakukan terkesan untuk mencari sensasi bukan menyampaikan aspirasi masyarakat banyak. Demo tersebut seolah-olah ditunggagi oleh sekelompok orang atau oknum untuk memancing keributan.

Ada beberapa tuntutan mahasiswa ketika demo kemarin, yakni menolak Presiden Joko Widodo tiga periode, Menolak kenaikan bahan bakar minyak jenis pertamax, menuntut dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk menunda dan mengkaji ulang UU IKN, mendesak presiden untuk menstabilkan harga bahan pokok (terutama minyak, gula pasir), dan menuntut presiden dan wakil presiden untuk berkomitmen penuh dalam menuntaskan janji-janji kampanye di masa jabatan mereka.

Mengkaji tuntuntan tersebut sepertinya mahasiswa yang turun ke jalan harus memperkaya bacaan mereka sehingga tidak terkesan buru-buru, lalu mengubah tempat demo dari Istana Kepresidenan ke Gedung DPR. Kenapa demikian? Mari kita ambil topik utama yang bagus untuk dibahas.

Sebelum terjadinya aksi demo tersebut, Presiden Joko Widodo telah memberi tahu dengan tegas bahwa beliau tidak mencalonkan diri dan menolak tegas usulan tiga periode. Bagi Presiden Joko Widodo sendiri, menerima usulan sekelompok orang mengenai tiga periode sama saja menampar dan mempermalukan dirinya.

Selanjutnya, mengenai kenaikan bahan bakar minyak jenis Pertamax. Apakah hal tersebut sangat etis untuk didemokan, mengingat bahan bakar tersebut merupakan non-subsidi dan digunakan oleh golongan mampu di Indonesia?

Jika mengkaji minyak langka, hal tersebut disebebkan adanya perang antara Ukraina dan Rusia. Dampak dari perang tersebut terjadinya kelangkaan minyak, bahkan sekelas Amerika, yang merupakan negara terkuat, minyak juga langka di sana. Jadi, kelangkaan minyak bukan persoalan di Indonesia saja, tetap di seluruh dunia. Hal ini sama seperti Covid.

Selanjutnya, mahasiswa setidaknya membaca beberapa survei dari beberapa lembaga mengenai minyak ini. Dikutip dalam sindonews.com, secara global, harga BBM dan LPG di Indonesia termasuk yang paling murah di dunia karena disubsidi pemerintah. Selain LPG 3kg, harga Biosolar dan Pertalite pun dijaga stabil, tidak ada kenaikan.

Maka dari itu, ditarik kesimpulan bahwa mahasiswa yang melakukan demo tersebut tidak membaca dan terkesan tersulut emosi karena opini-opini sekelompok orang.

Tinggalkan hal yang dibahas oleh mahasiswa tersebut. Mari kita melihat pada video-video pendek, foto-foto yang beredar, dan para wartawan yang meliputi terjadinya demo tersebut.

Ketika demo berlangsung, sedikit banyaknya mahasiswa yang melakukan tindakan anarkis. Mereka merusak fasilitas negara yang kemungkinan besar dibuat menggunakan pajak rakyat. Mereka juga melempari polisi yang bertugas, bahkan kejinya mereka memukuli Ade Armando, seorang dosen, karena terprovokasi oleh beberapa orang. Bagian parah, ada salah satu polisi yang gugur saat bertugas (meninggal).

Di samping itu, tulisan-tulisan yang tidak sesuai dengan kondisi pun turut hadir di tengah-tengah demo tersebut. Ada mahasiswi yang memegang kertas karton dengan tulisan, “DARIPADA BBM YANG NAIK, MENDING AYANG YANG NAIKIN #69”, “LEBIH BAIK BERCINTA TIGA RONDE DARIPADA HARUS 3 PERIODE, “MENDING 3 RONDE DI RANJANG DARIPADA 3 PERIODE,” dan “DEMO UNTUK INSTATORY”.

Apakah tulisan-tulisan tersebut etis dan pantas dituliskan oleh mereka yang mengaku mahasiswa atau mahasiswi, mengingat orang-orang yang bergelar “MAHASISWA” ilmu pengetahuan serta wawasan mereka lebih baik? Tentu hal tersebut tidak etis sama sekali, bahkan terkesan mencari sensasi.

Jika tulisan mereka benar-benar kejadian, apakah mereka akan tersenyum bahagia karena dinaiki “Ayang”? Atau menangis sejadi-jadinya karena dilecehkan oleh orang lain yang bukan “Ayang” mereka? Seharusnya mereka menggunakan pepatah baru, “Jarimu Harimaumu yang akan membunuhmu”.

Poin yang saya soroti di sini pada demo 11 April 2022 yaitu tidak adanya kedamaian yang terjadi di bulan Ramadan. Mereka (yang beragama Islam) yang sejatinya bisa menahan amarah dan nafsu di bulan baik ini, malah bertindak brutal. Mereka main keroyokan, egois, dan bahagia karena status MAHASISWA mereka. Dan ada hal konyol satu lagi, mereka tidak sengaja membatalkan puasa mereka demi demo yang menguras emosi tersebut.

Tentu salah satu kritikan saya di sini, mereka yang demo kemarin berbeda dengan MAHASISWA 1998 yang benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat.

Satu hal lagi yang ingin saya soroti, yaitu ketika DPR menolak usulan Presiden Joko Widodo mengenai perampasan harta pejabat yang korupsi, para MAHASISWA INI KE MANA? Apakah mereka setuju jika pejabat yang korupsi tersebut tidur setara hotel bintang lima? Kenapa persoalan yang sudah bisa dijawab mereka besar-besarkan, tetapi mengenai kerugian negara yang berdampak pada masyarakat tidak?

Ah, sudahlah. Mungkin opini selanjutnya akan terjawab untuk siapa dan tujuan mereka demo.

Piye kabare bro…? Isih penak zamanku to…?

Previous article

Terkait Pengeroyokan Ade Armando, BNPT Kecam Segala Tindakan Kekerasan di Ruang Publik atas Nama Apapun

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini