Ahmad Syafi’i Ma’arif sering di panggil dengan istilah “Buya”. Istilah tersebut diucapkan kepadanya karena ia pantas menyandang panggilan tersebut. Beliau memang sudah menjadi ulama yang benar-benar alim, dan juga dikenal sebagai pendidik. Selain itu beliau merupakan ilmuwan atau cendikiawan yang mempunyai reputasi intelektual sangat tinggi.

Namun Ahmad Syafi’i Ma’arif sendiri mengatakan “tidak usahlah disebut dengan Buya, cukup dengan nama saja, sebutan Buya masih dipermasalahkan”. Kadang beliau suka memelesetkan dengan kata “Buaya”, seolah-olah ingin membersihkan kandungan “karismatik” dari sebutan khas untuk tokoh minang tersebut. Lagi-lagi sikap yang humanis yang egaliter. Di hadapannya apapun yang berbau “keangkeran diri” diubah menjadi hal wajar, biasa dan bahkan lugu dan polos.


Ahmad Syafi’i Ma’arif lahir dari pasangan Ma’rifah Rauf dan Fathiyah pada hari Sabtu, 31 Mei 1935 di bumi Calau Sumpur Kudus “Makkah Darat”, Sumatera Barat. Sumpur Kudus “Makkah Darat” (Makkah Darek dalam bahasa Minang) adalah ungkapan yang sering diulang-ulang tidak saja oleh kaum elite negeri Minang, rakyat jelata pun tak lupa pula menyebutnya. Secara kultural melambangkan sebuah gerak perlawanan terhadap apa yang bernama kultur hitam jahiliyah yang dikuasai Parewa (preman) sangar daerah pedalaman.


Sewaktu kecil Ahmad Syafi’i Ma’arif tidak ada cita-cita tinggi yang ingin diraih, tidak ada angan-angan untuk jadi apa atau siapa. Hal ini, karena lingkungan nagari yang sempit dan sederhana itu tidak mendukung orang untuk menjadi sosok melebihi orang kampungnya. Semasa kecil Ahmad Syafi’i Ma’arif iklim pengaruh kota belum menjalar di kampungnya, karena televisi saat itu belum ada. Wawasan Ahmad Syafi’i Ma’arif pun hanyalah sebatas nagari Sumpur Kudus. Dalam kehidupan sehari-hari Ahmad Syafi’i Ma’arif bergaul dengan teman-teman sekampungnya, mengembala sapi, mengadu ayam. mengail, menjala, dan menembak burung dengan senapan angin abangnya.


Ayah Syafi’i Ma’arif lahir pada tahun 1900, ia adalah seorang terpandang di kampung, saudagar gambir, jauh sebelum dia diangkat menjadi kepala nagari tahun 1936. Keluarga Ahmad Syafi’i Ma’arif merupakan keluarga terhormat, ayahnya sebagai kepala suku melayu dengan menyandang gelar Datuk Rajo Melayu sampai wafat.


Secara ekonomi, ayahnya termasuk dalam kategori elite di kampung, tempat masyarakat mengadu tentang berbagai masalah, tidak saja menyangkut masalah ekonomi, juga masalah adat dan lembaga tingkat nagari. Pengetahuan agama ayahnya diperolehnya dengan membaca. Ayahnya cerdas, semua orang kampung mengakuinya.

Syafi’i Ma’arif sendiri sering menyaksikan betapa rasa hormat masyarakat kepada ayahnya, pasti datang dengan sikap sopan sebagai pertanda bahwa yang ditemui itu memang pantas untuk itu.


Ayah Ahmad Syafi’i Ma’arif bersaudara seayah-seibu (Abd Rauf dan Bailam) berjumlah tujuh, Ma’rifah, Karimah, Siti Dariyah, Saidina Hasan, Bainah, Attudin Rauf, dan Ahmad. Karimah dan Ahmad wafat sewaktu masih kecil, sementara Saidina Hasan wafat pada tahun 1949 di rumah sakit Sawahlunto dalam usia sekitar 32 tahun.
Ayah Ahmad Syafii Maarif wafat pada 5 Oktober 1955, dimakamkan di Tapi Selo, tanah persukuan orang Melayu. Semula ayahnya sakit di Tanjung Ampalu, di tempat ibu tirinya bernama Mak Maran. Kemudian etek Lamsiah, ibu tiri Maarif yang lain, memboyongnya ke Tapi Selo sampai ayahnya wafat di sana. Waktu itu ayah Syafii Maarif berusia 55 tahun.


Sementara ibunda Ahmad Syafi’i Ma’arif bernama Fathiyah lahir di Tepi Balai pada tahun 1905 dan meninggal dunia sewaktu Ahmad Syafi’i Ma’arif berusia 18 bulan. Ahmad Syafi’i Ma’arif tidak bisa membayangkan seperti apa sosok luar biasa sang bidadarinya itu. Ahmad Syafi’i Ma’arif tidak pernah melihat foto ibunya, dan ini menambah kesedihan baginya untuk membayangkan sosok sang ibu yang dicintainya itu. Ibunya wafat pada tahun 1937 dalam usia sekitar 32 tahun.

Ahmad Syafi’i Ma’arif belum sempat merasakan betapa manis ataupun pahitnya hidup dengan seorang ibu kandungnya. Orang mengatakan bahwa ibunya cukup cantik, tetapi Ahmad Syafi’i Ma’arif tidak pernah mengenal wajah cantik tersebut.


Tulisan ini penulis dedikasikan kepada pecinta karya-karya dan pemikiran Sang Buya, dalam rangka menyambut hari kelahiran beliau yang ke-86 pada 31 Mei akhir bulan ini. Semoga kita mampu mengambil pelajaran dari sosok beliau yang senantiasa peduli dengan kebhinekaan bangsa ini.

Nuraini Zainal

Jokowi, Radikalisme Berbasis Digital Harus Di Antisipasi

Previous article

9 PERTANYAAN YANG TIDAK BOLEH DITANYAKAN KEPADA ORANG BARU

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini