Septi Lutfiana

Seperti sudah menjadi ritual di akhir tahun, warga di Indonesia sepertinya punya kesibukan baru dengan agenda diskusi yang diwarnai dengan pro dan kontra. Diskusi yang dibahas pastilah tidak jauh dari boleh tidaknya umat Islam mengucapkan “selamat natal” untuk mereka yang merayakannya. Pro kontra seputar ini seolah menjadi bagian rutinitas menutup akhir tahun.

Sungguh melelahkan dan menggelisahkan. Bangsa yang besar dengan keragaman yang ad aini masih belum tuntas tentang persoalan pemaknaan kebangsaan secara baik. Namun, tentu saja ini hanya persoalan baru yang tidak ditemukan sebelumnya. Meningkatnya konservatisme belakangan ini menjadi salah satu momok yang mengkristalkan problem ini.

Dahulu rasanya tidak ada persoalan di tengah masyarakat untuk mengucapkan Selamat Natal. Rasanya sudah biasa antara umat yang berbeda saling berbagi dan menjaga hingga ke kampung-kampung. Namun, arus baru sejak reformasi justru semakin membelah masyarakat dengan persoalan problem identitas.

Mempersoalkan persoalan yang sejatinya murni persoalan pergaulan sosial kemasyarakatan menunjukkan sebagian masyarakat belum tuntas tentang jati diri berbangsa. Sebagian kecil masyarakat masih terus merangkai dan mendefinisikan ulang persoalan persaudaraan kebangsaan. Ini tentu menjadi persoalan serius ke depan dan tokoh agama harus mempunyai peran penting untuk mengurai hal ini.

Sejatinya persoalan mengucapkan selamat Natal adalah persoalan ijtihadiyah. Pro kontra juga terjadi di kalangan para ulama yang tidak memiliki satu suara dalam menghukuminya. Artinya ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkan dan sebagian lagi ada yang memperbolehkan. Bagi sebagian ulama, mereka memperbolehkan bagi umat muslim mengucapkan selamat Natal, dengan syarat mereka yang kita berikan ucapan selamat bersikap baik dan tidak sedang memerangi umat muslim.

Seperti tertulis dalam al-Quran, Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah; 8)

Boleh saja mengucapkan selamat Natal kepada saudara kita umat nasrani untuk sekedar ucapan selamat karena kegembiraan mereka. Seperti halnya, memberikan ucapan “selamat makan”, “selamat berlibur” dan ucapan selamat lainnya  yang mencerminkan kegembiraan yang sedang mereka rasakan, bukan ucapan yang mengaminkan bahkan membenarkan keyakinan mereka.

Sedangkan ulama-ulama yang tidak memperbolehkan didasari adanya hadist yang menjelaskan bahwa umat muslim dilarang atau bahkan diharamkan menyerupai orang kafir. Rasulullah bersabda, “siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud dari Ibnu Umar).

Selamat Natal : Ekspresi Teologis atau Sosiologis?

Pada dasarnya umat muslim mengucapankan selamat juga bisa dimaknai jika ucapan tersebut merupakan bagian dari toleransi dalam aspek sosiologis. Namun, sebagian muslim menganggapnya sebagai bagian dari ekspresi teologis. Mereka berpendapat bahwa mengucapkan selamat natal kepada umat nasrani hukumnya haram karena identik dengan ikut menyetujui teologi agama lain.

Karena itulah, ucapan itu harus didudukkan sebagai bagian dari ekspresi sosiologis. Toleransi merupakan suatu kebijakan yang adil dan bersifat tidak diskriminatif. Sikap toleransi dapat dimaknai jika kita mau menyadari bahwa keragaman dan perbedaan merupakan bagian yang tidak bisa di hindari dalam kehidupan social. Perilaku toleransi merupakan sebuah kemutlakan dan sejarah juga menyumbang pembentukan toleransi di dalamnya.

Karena itulah, seseorang tak akan bisa menghindari maupun menolaknya, yang bisa kita lakukan hanyalah memupuk toleransi supaya bangsa bisa menjadi tempat tinggal yang damai bagi warga yang menaunginya.

Haram dan halal merupakan sebuah keyakinan setiap masing-masing muslim di Indonesia. Bagi yang meyakini haram silahkan untuk tidak melakukannya tetapi tetap pada menghargai perayaan yang ada. Bagi yang memandang boleh tentu saja silahkan mengucapkan dengan tanpa memberikan kecaman bagi yang tidak mau melakukannya.

Jadikan konsep toleransi sebagai konsep yang benar-benar tertanam dan terpraktekkan, bukan sekedar wacana semata. Jika kita memaksakan pendapat boleh atau tidaknya pengucapan natal kepada non-muslim justru sebenarnya kitalah yang gagal dalam menjaga makna toleransi yang sebenarnya. Alih-alih merawat keragaman, jika kita memaksakan pemikiran kita, malah justru kita menciptakan ataupun memaksakan keseragaman.

Di sinilah letak persoalan yang sesungguhnya. Perkara dosa dan tidaknya manusia biarkanlah itu menjadi kuasa Tuhan, kita manusia biasa jangan sampai ikut-ikutan menjadi hakim dan malah membuat gaduh permasalahan yang sebenarnya ilmunya saja kita tidak terlalu paham.

Toleransi adalah termasuk menghargai boleh dan tidaknya mengucapkan selamat Natal. Tentu hal ini harus menjadi bagian penting agar persaudaraan kebangsaan tidak selalu terkoyak akibat agenda rutinan di akhir tahun seperti ini. Sudah cukup tuntaskan persoalan itu dan tidak ada lagi perdebatan yang dapat memecah belah kerukunan antar umat beragama dan intra umat beragama.

dutadamaisumbar

Membanggakan!! Masjid Raya Sumbar Dinobatkan sebagai Desain Arsitektur Terbaik di Dunia

Previous article

14 Orang Terduga Teroris Ditangkap Di Sumatera

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini