Berdasarkan sejarah, cikal bakal kemerdekaan Indonesia di mulai dari gerakan-gerakan yang dipelopori oleh anak-anak muda.

Salah satu momentum yang paling penting dalam sejarah gerakan kepemudaan di Indonesia adalah Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan momen paling bersejarah dan menjadi akar dalam penyemaian rasa kesatuan pemuda-pemuda dari berbagai daerah di Indonesia. Kita masih ingat bagaimana Jong Sumatera, Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Pasundan, Jong Borneo dan lain-lain dalam menginisiasi Sumpah Pemuda. Sumpah pemuda bisa dikatakan menjadi tonggak awal rasa kebersamaan pemuda-pemuda Indonesia dimana sebelumnya pergerakan – pergerakan melawan kolonialisme masih bersifat kedaerahan. Muhammad Yamin, sang perumus Sumpah Pemuda saat itu berumur 25 tahun.

Tujuh belas tahun kemudian, teks proklamasi dibacakan Soekarno dan ini menandai kemerdekaan Indonesia. Jika kita menilik lebih seksama, tokoh tokoh proklamasi telah memulai cita-cita kemerdekaan sejak mereka muda. Hatta mulai mengumandangkan istilah “Indonesia” sejak aktif di Perhimpunan Indonesia di Belanda. Saat itu Hatta masih tercatat sebagai mahasiswa ekonomi di Belanda. Anggota Perhimpunan Indonesia saat itu berumur antara 19-22 tahun. Perhimpunan Indonesia aktif dalam menuntut kemerdekaan dan menentang kolonialisme dengan menerbitkan buletin “Indonesia Merdeka”. Syahrir bahkan lebih muda, bersamaan dengan Hatta, Syahrir juga memulai perjuangannya di usia muda. Bersama dengan Hatta, syahrir aktif membantu dan terlibat aktif dengan mahasiswa Indonesia lainnya di Belanda.

Di Indonesia, Soekarno muda aktif dalam menghimpun kaum muda dengan mendirikan Algemene Studie Club yang menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia. PNI lahir pada tahun 1928 dan umur Soekarno saat itu masih 25 tahun. Aktifitasnya di PNI di anggap membahayakan posisi pemerintah kolonial. Soekarno muda akhirnya di tangkap pada tahun 1929 dan memunculkan pledoinya yang fenomenal yaitu “Indonesia Menggugat”. Untuk mencapai cita-cita merdeka, PNI mendirikan koran Persatoean Indonesia sebagai propaganda menolak dan menentang kolonisme Belanda.

Tan Malaka, walaupun sejarah mengkhianatinya, namun nama dan gaungnya tetap eksis hingga saat ini. Hampir separuh hidupnya berada dalam pelarian. Tan Malaka muda melintasi puluhan negara dan mempunyai banyak nama samaran untuk menghindari kejaran pemerintah kolonial dan intelijen asing. Salah satu gebrakannya adalah menentang tesis Lenin tentang “Perjuangan Melawan Pan-Islamisme” pada Kongres Komunis Internasional ke empat tanggal 12 november 1922 di Moskow, Rusia. Umurnya saat itu juga 25 tahun.

Soekarno, Hatta, Syahrir dan Tan Malaka hanyalah segelintir kaum muda yang tampil di panggung sejarah kemerdekaan Indonesia. Mereka memberikan jiwa dan raganya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan caranya masing-masing. Berbeda asal, berbeda bahasa, berbeda pandangan, berbeda jalan namun satu tujuan, yaitu kemerdekaan Indonesia.

Sebagai konsekuensi kekalahan Belanda atas Jepang, Jepang mulai menduduki seluruh daerah okupasi Belanda. Dalam menyikapi ini, tokoh-tokoh muda tersebut memiliki perbedaan pandangan. Soekarno dan Hatta menilai “cooperation” dengan Jepang adalah pilihan terbaik saat itu. Keduanya akhirnya menerima pinangan Jepang dan menduduki jabatan-jabatan yang berada di bawah perintah Jepang. Sedangkan Syahrir ditugaskan Hatta untuk bergerak dibawah tanah dengan tujuan mengumpulkan pemuda-pemuda lainnya. Tan Malaka lain lagi, dengan semboyan “Merdeka 100 Persen” nya, Tan mengkritik keras keputusan Soekarno dan Hatta.

Sejarah akhirnya berpihak ke Indonesia. Kekalahan Jepang melawan Sekutu mulai terbaca oleh tokoh-tokoh muda itu. Tokoh-tokoh muda Indonesia mendorong Soekarno-Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa sepengetahuan Jepang. Desakan ini ditujukan agar kemerdekaan Indonesia bukan seolah-olah adalah pemberian Jepang. Soekarno-Hatta menolak desakan ini dan meminta para pemuda agar tidak gegabah dan perlu melihat situasi baik nasional maupun internasional. Kaum muda yang saat itu di pelopori Soekani (29), Wikana (31), Aidit (22) dan Chairul Saleh (29), berbeda pendapat dengan kaum tua, mengenai kapan seharusnya Indonesia diproklamasikan. (saat itu Soekarno-Hatta masing-masing berumur 44 dan 43 tahun).

Puncak dari perdebatan ini adalah peristiwa penculikan rengas dengklok. Soekarno-Hatta di culik oleh kaum muda dan di bawa ke rengas dengklok, provinsi Banten. Akhirnya, atas desakan kaum muda, Soekarno-Hatta setuju untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 tanpa adanya campur tangan pemerintah Jepang.

Nah, bagaimana dengan kaum muda Indonesia saat ini?

Data demografi Indonesia menyebutkan bahwa jumlah pemuda di Indonesia dengan rentang usia 16-30 tahun, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan berjumlah 61,8 juta orang atau 24,5 persen dari total jumlah penduduk (BPS, 2014). Jumlah pemuda akan meningkat tajam pada 2020-2035, bersamaan dengan datangnya era bonus demografi bagi Indonesia.

Berdasarkan data tersebut, bukan tidak mungkin kaum muda Indonesia akan memainkan peran penting dimasa yang akan datang. Secara kuantitas, kaum muda Indonesia lebih banyak di banding kaum muda di negara-negara ASEAN yang lain. Banyak peneliti menyimpulkan Indonesia saat ini memiliki keuntungan atau yang biasa disebut bonus demografi. Bonus demografi ini pun akan semakin menguntungkan Indonesia dengan dibukanya kran perdagangan bebas ASEAN dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEE).

Namun sebelum jauh masuk ke ranah ekonomi, sudahkah kita menjawab, apakah cukup “menang” dalam jumlah kuantitas saja tanpa mempertimbangkan aspek kualitas? Sementara Indonesia saat ini berhadapan langsung dengan isu-isu radikalisme, rasisme dan adu domba.

Indonesia saat in berupaya keras dalam melawan paham-paham radikalisme dan upaya adu domba. Kaum muda, dengan jumlah yang besar dan belum memiliki ideologi yang kuat, menjadi sasaran empuk propaganda paham-paham radikalisme dan upaya adu domba tersebut.

Berdasarkan kondisi yang ada, penulis menilai pentingnya kaum muda saat ini untuk meninjau ulang pergerakan – pergerakan kaum muda sebelum kemerdekaan Indonesia. Walaupun dengan situasi yang berbeda, setidaknya kita dapat mengambil beberapa pelajaran dari tokoh – tokoh pergerakan kemerdekaan tersebut.

Adapun pelajaran yang dapat kita ambil adalah :

1. Pentingnya pendidikan sebagai upaya mencerdaskan diri pribadi dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat.

2. Keberanian dalam melawan ketidakadilan dan berani mengambil resiko dengan keputusan yang kita ambil.

3. Membentuk jaringan komunikasi dengan pihak lain dan membentuk kelompok yang solid.

4. Menanamkan rasa persatuan, cinta tanah air tanpa terpisahkan ego-ego kedaerahan.

Mari bertanya pada diri sendiri, sudahkah kita melakukan hal-hal positif tersebut?

Intinya, dengan mencontoh upaya-upaya tokoh pergerakan dan mengaplikasikannya sesuai konteks saat ini, kemerdekaan Indonesia akan lebih bermakna dan rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa merdeka akan semakin kuat.

Onriza Putra

Populisme Sayap Kanan dan Terorisme Gaya Baru (?)

Previous article

WNI di Portugal : Siapa Pun Presiden Indonesia, Kita Semua Harus Tetap Bersatu

Next article

You may also like

Comments

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini