Manusia tidak dapat lepas dari budaya, begitu pun sebaliknya budaya tidak akan jauh hubungannya dengan manusia. Nama merupakan pemberian dari kedua orang tua untuk identitas jati diri. Namun, ada nama yang diberikan oleh masyarakat budaya seperti di Minangkabau, laki-laki dewasa yang telah menikah akan mendapat gelar (gala) yang nantinya diberi oleh paman atau mamak. Gelar atau gala diberikan kepada laki-laki Minangkabau yang telah menikah. Dalam pepatah yang terdapat di Minangkabau, ketek banamo gadang bagala ‘kecil bernama besar bergelar’, pepatah tersebut menyatakan bahwa orang Minangkabau sewaktu kecil diberi nama oleh orang tua dan ketika dewasa diberi gelar oleh kaum. Hal tersebut, berlaku bagi anak laki-laki di Minangkabau. Setelah pemberian gala, nama bagi seorang laki-laki yang telah menikah di Minangkabau dianggap telah tiada, karena dalam kehidupan sehari-hari gala itu yang digunakan di rumah istrinya. jika laki-laki Minangkabau yang telah menikah dipanggil nama kecilnya, hal tersebut merupakan penghinaan bagi dirinya.

Sumando merupakan laki-laki Minangkabau yang menjadi suami dari sanak famili perempuan. Sumando merupakan sebutan bagi laki-laki yang telah menjadi suami di rumah istrinya. Oleh karena itu, gala sumando merupakan identitas bagi laki-laki yang sudah menikah. Kata sumando berasal dari bahsa melayu kuno (su= badan, mando dari kata mandah= menumpang semantara. Dalam struktur adat Minangkabau kedudukan suami sebagai orang menumang di rumah istrinya (sumando). Perumpuan tempat menumpang disebut mandan. Dan keluarga pihak laki laki menyebut istri dari saudara laki-lakinya pasumandan.

Kedudukan anak laki-laki secara fisik punya tempat di rumah ibunya. Setelah beristri, jika terjadi sesuatu di rumah tangganya, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Situasi itu secara logis mendorong pria Minangkabau untuk berusaha menjadi orang baik agar disegani oleh dunsanak nya sendiri, maupun oleh pihak istrinya. Sebagai seorang sumando, juga sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya harus rajin dalam memenuhi ekonomi rumah tangga. Pada saat pagi harus berangkat dari rumah istri untuk mencari nafkah, sore harinya baru pulang dengan membawa hasil supaya dapua lai baraso (dapur ada berasap) menandakan ada beras yang akan dimasak.

Hal itu diibaratkan itiak pulang patang/itik pulang sanjo (itik yang pulang disore hari). Itik pada pagi hari mencari makan disawah, dan pulang ke kandang di sore hari beriringan sambil membawa telur atau memberikan tambahan ekonomi bagi yang punya rumah. Itik apa bila terkena lumpur dan bertelur, tidak tampak perubahan yang signifikan terjadi pada tubuhnya. Tubuhnya yang selalu bersih dan seimbang serta terkesan lihai dalam bergerak. Hal itu menggambarkan karakteristik budaya Minangkabau yang tidak berubah dalam kondisi apa pun.

Itik pulang patang menjadi motif ukiran di rumah gadang, motif ini melambangkan kesepakatan dan persatuan yang kukuh dalam adat di alam Minangkabau. Makna filosofis ukiran Itiak Pulang Patang beragam. Variasinya terjadi karena adanya sudut pandang masyarakat Minangkabau yang berbeda-beda. Ukiran  Itiak Pulang Patang mempunyai arti filosofis yang sangat mendalam karena di pengaruhi falsafah orang Minangkabau. Kesadaran bahwasanya manusia adalah bagian dari alam yang menimbulkan pemahaman tantang manusia dan segala macam isi alam yang saling berdampingan dan membutuhkan satu sama lainnya. Dibutuhkan keserasian antara satu sama lainnya sehingga kehidupan berjalan sebagaimana mestinya, ini merupakan makna dari Itiak Pulang Patang.  Dalam kaitannya seorang suami jika masih tingga/menetap di rumah keluarga istri maka oleh keluarga istrinya dianggap sebagai seseorang tamu yang dihormati/disegani. Dia hadir di rumah keluarga istrinya karena terjadi pernikahan. Namun kewenangan  sumando di rumah istrinya hanya sebatas pintu baliak/kamar istrinya, serta kepala keluarga anak-anak dan istrinya.  Sumando  banyak memiliki katagori dan bentuk di Minangkabau. Tergambar kan berupa sifat yang dimiliki saat beradaptasi di keluarga istrinya, seperti sumando kacang miang (merupakan sumando yang berperilaku buruk suka membuat rusuh, kacau dan menfitnah)  sumando lapiak buruak (tikar burut, laki-laki yang gemar tidur berkurung di dalam kamar)  sumando langau hijau (lalat hijau, sumando yang berkepribadian kotor sangat kurang menjaga kebersihan)  sumando ninik mamak (inilah laki-laki sosok suami atau minantu/menantu ideal yang diharapkan setiap orang di ranah Minangkabau).

Perdebatan dan Solusi!!!

Previous article

Ceramah Agama, Seharusnya Menyejukkan Bukan Mencaci

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *