Sumber Foto : Langgam.id

Prof. Dr. H.Duski Samad, M. Ag, Tuanku Mudo atau biasa dikenal sebagai Buya Duski adalah salah satu tokoh Sumatera Barat yang aktif menggelorakan semangat keagamaan dan nilai-nilai toleransi. Wujud aktifivismenya dibidang satu ini tampak dari sederet jabatan yang diembannya, seperti Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Sumatera Barat, Ketua Dewan Masjid Indonesia Wilayah Sumatera Barat, Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Padang dan berbagai lembaga lainnya.

Sebagai seorang tokoh agama (Buya Duski juga memegang gelar akademis tertinggi yaitu Guru Besar dan gelar adat, Tuanku Mudo), Buya telah melahirkan berbagai karya-karyanya dalam bentuk artikel, opini di media massa dan tentu saja, menulis sebuah buku. Pandangan keagamaan dan toleransi Buya, telah menjadi rujukan masyarakat Minangkabau. Duta Damai Sumbar beberapa kali berdiskusi dengan beliau terkait toleransi dan kerukunan umat beragama di Sumatera Barat.

Pada 18 Juli lalu, Buya merayakan Milad ke-60 tahun sekaligus melaunching 6 buah buku secara virtual. Kegiatan ini diisi dengan orasi ilmiah yang diberi judul Islam Untuk Peradaban Dunia. Keenam buku tersebut yaitu APD (Agama Pelindung Diri), Sigi Kepemimpinan, Best Practice Tolerance, Tabayun Intoleransi, Keluarga Layar Sentuh dan Tuanku Profesor. Buku ini adalah kumpulan tulisan Buya dari berbagai macam tulisan dan ceramah.

Buku Agama Pelindung Diri diterbitkan oleh PAB Publishing dengan 279 halaman. Didalam buku ini dibahas perbedaan pendapat tentang ibadah dan pelaksanaan sholat Jumat saat pandemi serta dinamika-dinamika keumatan yang disebabkan oleh Covid-19. Judul-judul yang dibahas adalah APD Ruhani, Save Nyawa, Taushiyah Kedaruratan, Kita Tidak Semua Tahu Taqdir Cerdas. Menurut Buya, kepatuhan kepada otoritas (negara dan agama) adalah modal menghadapi Covid-19.

Buku kedua berjudul Sigi Kepemimpinan yang terdiri dari 168 halaman. Buku ini adalah refleksi, prediksi dan imajinasi Buya terhadap idealnya pemimpin. Pemimpin adalah penjemput amanah dan imam peradaban. Dalam konteks Sumatera Barat, buku ini mempromosikan kearifan lokal, Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.

Buku Ketiga yaitu Best Practice Tolerance. Menurut Buya, Sumatera Barat adalah masyarakat yang best practice tolerance. Didalamnya dibahas Toleransi Sehat, Toleransi Menyesatkan, Peran FKUB menfasilitasi Ahmadiyah dan lain-lain. Buku ini adalah jawaban dari kondisi keagamaan pasca pemilu. Pergulatan pemikiran, dirkursus, wacana dan diskusi dalam topik kerukunan. Menurutnya, Sumatera Barat adalah etnis yang paling siap hidup berdampingan dengan ragam agama dan budaya. Budaya merantau, watak pedagang, menjadi pemikir dan diplomat adalah contoh keterbukaan masyarakat Sumatera Barat.

Buku Tabayun Intoleransi membahas sub judul seperti Survei Intoleransi di Sumatera Barat?, Anti Kebhinekaan, masa iya? Kontra propaganda Radikalisme dan lain-lain. Buku ini hadir sebagai respon akademis terhadap hasil-hasil survei yang menempatkan Sumatera Barat bersifat intoleran. Buya melakukan tabayyun data dan fakta. Menurutnya, interaksi antar umat beda agama, rumah ibadah dan sebagainya, tidak ada masalah. Sumatera Barat diisukan intoleran oleh pihak yang berkepentingan, terutama lembaga yang punya pembiayaan dari skenario global. Menurutnya, kondisi riil dilapangan, kita tidak akan menemukan yang intoleran.

Buku Keluarga Layar Sentuh diterbitkan sebanyak 200 halaman. Buku ini menyangkut persoalan keluarga, nikah usia dini, lost generation dan tema-tema keluarga lainnya. Buku ini berisi pandangan tentang urgensi keluarga natural, keluarga bahagia dan keluarga berkualitas sebagai basis peradaban.

Buku terakhir adalah buku biografi berjudul, Tuanku Profesor. Sebagai buku yang berisi riwayat hidup penulis, Buya mempersilahkan kita untuk menjadikannya sebagai bahan referensi. Didalamnya dibahas perjalanan hidup, pengalaman jadi pakiah, kuliah dan seterusnya. Buku biografi ini mulai ditulis sejak tahun 2015. Buku ini berpesan bahwa nilai-nilai, simbol dan tradisi dapat berubah seiring perkembangan zaman. Tuanku adalah simbol atau gelar keagamaan yang lazim melekat dengan orang surau, kaum sarungan dan tradisionalis. Bagi Buya, orisinalitas tradisi tetap dipertahankan namun progresivitas akademik harus dicapai dengan mendayagunakan semua potensi dan tetap istiqomah di jalan lurus kehidupan.

Dalam launching ini hadir Rektor UIN IB, Prof. Dr. Eka Putra Wirman, MA, Kakanwil Kemenag Prov Sumbar, H. Hendri , Bupati Padang Pariaman, Ali Mukhni dan Pimpinan Muhammadiyah Sumbar Buya Drs. H. Syofyan Karim.

Onriza Putra

Sapardi Djoko Damono Sang Penyair Romantis

Previous article

Menanti Media Tanpa Clikbait

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini